Monday 11 February 2019

Masih Banyak Yang Belum

Tahun sudah berganti, sekian lama saya tidak duduk merangkai kisah mengabadikan peristiwa mencatat dan merekam untuk saya baca di masa mendatang.

2019 sudah berjalan di bulan ke dua, sebuah awal yang cukup berat setidaknya karena tahun lalu memulainya dengan hal menyenangkan, payah saya adalah mencoba membandingkan meski sepenuhnya sadar bahwa perbandingan tidak akan pernah membawa saya kemana-mana. Ya, bulan pertama berjalan melambat seketika di hari ke dua awal tahun kabar kondisi Abah semakin memburuk dan memaksanya harus kembali opname untuk tindakan lebih lanjut, sejak November memang kondisi Abah memaksa harus akrab dengan rutinitas periksa kesehatan ke rumah sakit. Diabetes memaksanya
Kondisi Abah memburuk di awal tahun, dokter mengusulkan untuk memutus jaringan virus yang menjalar di kaki kiri abah dengan amputasi, keluarga menyetujui dan Abah pun tidak punya pilihan solusi lebih baik. Sebelumnya di bulan November Abah sudah harus merelakan kaki kirinya tidak lagi memiliki utuh 5 jari, dan Januari Abah harus kehilangan kaki kirinya hingga di atas tumit. Selepas proses syuting film, saya pulang, menjenguk dan melihat kondisi Abah pasca operasi, saya hampir tidak kuat melihat Abah yang sudah tak berdaya dan tanpa motivasi untuk bertahan lebih lama. Abah sudah hampir tidak mampu berbuat apapun kecuali terbaring dan melihat jam dinding yang memang di kamarnya dipasang sejajar dengan arah pandang. Ibuk bercerita betapa Abah sedih melihat bentuk kakinya yang tak lagi utuh dan tanpa daya, kondisi Abah membuat Ibuk harus rela dalam sehari istirahat tidak lebih dari 2 jam karena kadang tengah malam Abah ingin minum dan buang air kecil. Yang paling saya khawatirkan saat itu memang kondisi ibuk yang harus merawat dan menjaga Abah, ditambah Ibuk memang sudah bermasalah dengan lututnya yang sudah tidak lagi mampu berdiri terlalu lama.

14 Januari, kondisi Abah yang semakin lemah mungkin karena nutrisi yang masuk ke dalam tubuh Abah hanya susu dan akhirnya harus mendapatkan perawatan intens di Rumah Sakit daerah Tuban (kondisi Abah yang tak mampu bertahan dalam perjalanan memang menjadi alasan kenapa akhirnya memilih untuk opname di Tuban). 19 Januari, Abah kembali diharuskan kehilangan separuh dari kaki kirinya dan tak lama saya mendapat kabar bahwa Abah sudah mulai lupa dengan orang di sekitarnya. Saya menangis, saya menangis ketika mendapat cerita Abah sudah tidak mengenal Ibuk.
20 Januari saya menemui Abah di ICU, saya mencoba kuat pertama kali melihat Abah dalam kondisinya, dan tangis saya pecah saat Abah bertanya "Sampean sopo?" (Kamu siapa?)

Saya menahan untuk menjawab, "saya anakmu Bah, Yusril, yang jarang di rumah untuk merawat, yang jarang mendengar nasehatmu, yang bahkan tidak pernah bertanya mau Abah apa, anakmu yang punya seribu pertanyaan untuk mengenal Abahnya sendiri."

Abah memandang saya begitu lama, sampai akhirnya di ICU hanya ada saya dan Abah. Sesekali saya menuntun Abah untuk mengucap kalimat takbir dan istighfar, dengan berat nafas Abah berucap "YA ALLAH, YUS..."
Dan itu menjadi kalimat terakhir Abah yang disampaikan ke saya.
Pukul 14.36 wib tanggal 22 Januari, Abah berpulang. Saya mendaratkan pelukan ke Ibuk, sosok luar biasa yang Tuhan jamin surga untuknya. "Sampun Buk, Ikhlas nggih.. ibuk saget istirahat sing cukup sakniki.", itulah kali pertama saya di umur hampir 30 ini memeluk Ibuk dan menenangkan tangisnya.

Sedikit sekali kenangan dan dokumentasi saya dengan Abah, hampir tidak saya temukan foto kami berdua bahkan ketika saya masih kecil. Saya memang sudah jarang di rumah sejak Abah memutuskan untuk menitipkan saya di Pondok Pesantren, komunikasi kami tidak pernah rutin terjalin sebelum Abah membentak saya untuk segera menyelesaikan kuliah. Banyak cerita tentang bagaimana saya di masa remaja yang Abah tidak tahu, banyak pertanyaan tentang bagaimana menjadi orang tua yang ingin saya tanyakan, banyak mau saya yang Abah tidak tahu dan mau Abah yang saya juga tidak sempat mendengar. 

"Masih banyak yang belum sempat aku katakan padamu, masih banyak yang belum sempat aku sampaikan padamu..."

Jika nama adalah doa, dalam bahasa arab nama asli Abah (Masrur) memiliki arti bergembira. Semoga pun di sana, Abah terlihat lebih gembira dari singkat waktu saya melihat Abah di sini.

Al Fatihah

Monday 9 April 2018

A Monster

Saat menulis tulisan ini, sepulang dari kegiatan suting program sitkom di sebuah televisi masa kini, N*T. Saya bersyukur atas ini dan memutuskan dalam beberapa waktu berpindah dari kota pelajar ke ibukota yang kata pengais di dalamnya kejam, sebuah keputusan yang mau tak mau sih memang karena tidak mudah untuk beradaptasi terlebih di Jogja saya menjalani hampir 17 tahun dan pindah ke kota yang sampai hari saya menulis ini pun masih mencoba untuk beradaptasi dengan budaya, perilaku di jalan, dan hiburan kaum menengah akhir pekan.

Rutinitas setiap hari hanya bangun tidur, bersiap untuk ke lokasi, suting, pulang ke kos, kalau hari masih sore biasanya memutuskan pergi entah ke mana untuk mengusir lelah baik fisik maupun mental. Karena percayalah, nongkrong adalah kegiatan terbaik di Jakarta untuk mengusir itu semua, banyak menghabiskan uang memang tapi itu bernilai baik untuk bagaimana kamu bertahan. Kebiasaan nongkrong dan menertawakan aktifitas orang di Jakarta yang jauh dari ngeteh pinggir jalan adalah seperti menyeimbangkan tuntutan untuk terus hidup dan tetap menjadi manusia.

Namun beberapa minggu terakhir, rutinitas semakin menyeret menjauh dari semua itu dan menyita banyak waktu yang berakibat pada ada yang lelah dalam diri saya, bukan hanya fisik namun juga mental, pernah dalam perjalanan pulang selepas rutinitas suting saya terus berpikir apa yang salah dan kenapa bisa seperti ini. Saya menjadi gampang murung, gampang merasa lelah, gampang untuk terpicu marah meskipun stereotype sebagai orang jawa membatasi saya untuk bisa meluapkan apa yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Rasanya di beberapa minggu terakhir, Tuhan memberi saya kesempatan untuk memaksimalkan kekuatan sabar dan keterbatasan sebagai penghibur untuk semaksimal mungkin tetap terlihat baik-baik saja. Saya sadar, ada yang lelah dan harus direfresh, ada yang ingin bersandar dulu sebelum siap untuk berjalan lagi, ada Yusril lain yang masih perlu beradaptasi. Banyak nasehat dan petuah bijak dari beberapa teman dekat untuk tetap bersabar dan bersyukur, bersyukur masih diberi pekerjaan, bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bersabar, kuhargai semua nasehat itu, namun sepertinya memang saya hanya manusia biasa saja yang tentu saja memiliki emosi dan kelemahan.


Saya sadar perlahan ada yang mulai tumbuh seiring kesibukan dan proses adaptasi saya dengan semua ini, sesuatu seperti symbiote dalam tubuh yang menjalar dan menggerogoti kesabaran, namanya EGO. Ego saya ini perlahan membesar dan membesar, siapapun kamu yang membaca tulisan ini tolong ingatkan saya kalau sudah terlalu banyak yang berubah dalam diri saya. Ingatkan saya dengan caramu, ingatkan saya dengan bagaimana kita saling mengenal, karena monster ini ada di setiap kita dan sama sekali tanpa disadari akan semakin menguasai.
Ingatkan saya tentang pentingnya ngeteh sore dan makan gorengan di angkringan, nikmatnya duduk santai di pinggir lapangan melihat pertandingan sepakbola kampung dengan latar ibu mengajak anak kecilnya jalan-jalan, ingatkan saya bagaimana nikmatnya nasi goreng seharga 3500 dengan uang hasil patungan. Segala sesuatu memang ada harganya, mungkin ini adalah harga yang harus saya bayar dengan pekerjaan sebagai penghibur, peperangan batin yang kalau tidak ada yang mengingatkan saya bisa lupa diri. Tentu tanpa bermaksud untuk merendahkan profesi lain karena saya pun paham apapun profesi yang digeluti memiliki "pertarungan" dan "harga" yang masing-masing harus membayar tuntas, entah lunas atau menjadi kandas.

Terlalu banyak hal yang saya pikirkan, saya penakut memang, memikirkan segala kemungkinan buruk dalam setiap hal. Saya bukan penyabar, saya hanya tidak ingin dilihat sebagai pemarah karena mungkin pekerjaan saya menuntut untuk itu dan asumsi sebagai penghibur untuk "membuat semua orang bahagia" sungguh seperti pisau bermata dua.

"Who cares if one more light goes out, in the sky of a million stars?"

Saturday 13 January 2018

Realitas Mesin Waktu

Saya begitu terobsesi dengan apapun yang berkaitan mesin waktu, time-traveller, dan merusak timeline. Terakhir saya terkagum dengan film "Tomorrow, I Will Love Yesterday's You", sebuah film yang mengangkat tema tentang seseorang yang memiliki garis waktu berbeda dengan manusia pada umumnya, saya terkesan dengan ide dan eksekusinya sebagai sajian utuh sebuah film. Saya bahkan selalu memberi nama playlist saya dan mengelompokkan berdasarkan tahun dimana saya pertama kali menyukai lagu tersebut, bagi saya, selain wewangian, lagu adalah mesin waktu termudah yang bisa kita rasakan. Dalam satu lagu, saya bisa mengingat beberapa momen yang terjadi ketika pertama mendengar lagu tersebut.

Memasuki 2018, artinya tahun ini usia saya akan menginjak 29, ujung usia di fase 20an dalam manusia. Saya merasa banyak kekurangan dalam diri saya, masih terlalu banyak yang saya harus kuasai agar bisa dikatakan sebagai "dewasa". Saya masih merasa saya adalah pemuda 21 tahun yang masih terlalu senang bermain, terlalu banyak membuang waktu dan susah menentukan skala prioritas, saya buruk dalam hal memutuskan. Padahal di usia saya yang seperti ini, hal yang berkaitan dengan keputusan dan komitmen adalah sebuah keharusan.

Ya, saya benci menjadi tua

Dulu ketika usia saya menginjak 20, saya menulis di status Facebook saya "Generasi Menolak Tua", nyatanya di hampir 10 tahun saya menulisnya, saya tetap membenci dan menolak untuk menjadi tua. Sesekali terlintas di pikiran saya, kalau memang mesin waktu benar adanya, saya ingin mendatangi diri saya di usia 23-25, menamparnya dengan keras sambil teriak "Do something, dumbass!". Dalam kurun waktu usia itu, saya benar-benar meremehkan semua orang yang mementingkan komitmennya, lulus kuliah, lalu kerja, dan memiliki target di usia ke sekian. Terus menerus saya mencari pembenaran atas semua yang saya lakukan, sampai di usia ke-26 saya baru sadar bahwa ada yang harus diprioritaskan dalam hidup, menata kembali kuliah saya, menyelesaikan apa yang orang tua saya impikan yang seharusnya sudah saya selesaikan 3-4 tahun lalu, betapa saya ingin bertemu dengan diri saya sendiri di usia itu.

Ya, saya benci menjadi tua

Karir, asmara, bagaimana nanti ke depan, adalah beberapa hal yang sering dan bosan saya dengar di usia ini. Memilih ini harus mempertimbangkan itu, mementingkan yang ini untuk itu yang lebih baik, mendahulukan yang ini agar nanti ke depannya itu bisa lebih mudah, semua nasehat dan kata bijak benar menghantui saya di wilayah itu. Sungguh menjadi tua itu tidak menyenangkan, bagaimana kalau yang ini ternyata tidak dapat membendung yang itu, apa jadinya kalau ini tidak seperti yang itu.
Di sekitar saya, banyak teman yang akhirnya memilih menjadi "seperti apa yang seharusnya orang umum lakukan", hal semacam "Think out of the box" akhirnya menemui jalan buntu di persimpangan asumsi "yaudahlah realistis aja" dan umur yang sudah tidak lagi muda.

Ya, sudahlah

Apapun itu, garis waktu saya mengharuskan seperti ini, saya agak terlambat di beberapa fase hidup. Nyatanya mesin waktu memang belum ditemukan, dan saya selalu percaya tidak satupun yang memegang kunci terhadap garis waktu itu selain kita sendiri, dengan kelemahan kita memberi sedikit ruang dalam diri kita untuk terus berkembang.

Ya, saya sekali lagi melakukan pembenaran

Thursday 3 August 2017

Melebur Pada Gunung

Gelaran Stand Up Gunung 2017 baru saja selesai, di sosial media masih banyak kebahagiaan yang diunggah, foto, video, tulisan, dan kesan tentang meriahnya acara ini. Tahun ini Stand Up Gunung mengambil tema "Bhinneka Tawa" yang kurang lebih bermaksud untuk menyatukan segala jenis aliran dalam Stand Up Comedy dengan tujuan utama tentunya menghibur dan mengajak untuk membuka selebarnya pikiran untuk menerima candaan yang mungkin beberapa kejadian terakhir membuat jarang dirasakan.
Hawa "serius" sosial media ini semakin lama memang membuat lelah, membuat sempit lingkar kepala para penggunanya akibat segala sesuatunya jika harus dijadikan bahan bercandaan terhalang norma ini dan itu, padahal sejatinya komedi atau lawak atau humor meredam semua itu meleburnya dalam tawa, yang pada akhirnya segala sesuatunya bisa menjadi lebih ringan dan lebih mudah diterima, idealnya seperti itu. Yang terjadi malah beberapa penggunanya yang terlalu serius dalam menanggapi setiap masalah ini menjadikan sosial media untuk media praktis untuk saling serang, menebar fitnah, menjadikan viral yang berujung pada pemboikotan ini dan itu, yang sejujurnya melelahkan.

(photo by Rahadyan Kukuh)

Nah, Stand Up Gunung 2017 hadir untuk mencairkan semua ketegangan itu
Boleh menyangkal bahwa apa yang tertulis adalah sesuatu yang terlalu dilebihkan, tapi kalau anda datang menyaksikan penampilan komika Stand Up Gunung, hampir semua komika yang tampil di dalamnya menyampaikan sesuatu dari berbagai sudut pandang, dari yang akademis sampai yang vulgar sarat makian, dari yang menertawakan diri sendiri hingga menertawakan sesuatu yang getir seperti peristiwa alam. Jika dipahami sebagai sebuah teks, maka ini adalah rangkaian penampilan yang jauh dari nilai moral, namun secara kontekstual ini adalah kesempatan untuk menertawakan segala hal yang terjadi di negara kita akhir-akhir ini.
Uus dan Ernest Prakasa, 2 sosok kontroversial di sosial media yang dengan tenang menceritakan dan membuat apa yang menimpa mereka berdua sebagai sebuah candaan yang memang seharusnya kita tertawakan. Irvan Karta membedah dan memberi pengetahuan kepada para penonton tentang asal muasal nasi sarden, sedangkan duo Muslim dan Coki Pardede dengan gamblang mengajak penonton untuk menertawakan tragedi dan membongkar paradigma terhadap sebuah isu. Semua mendapatkan apresiasi dan tawa dari penonton, semua mendapatkan respect, dan semua mengamini bahwa apa yang terjadi di Stand Up Gunung 2017 adalah memang hanya realitas yang harusnya ditertawakan.

Acara seperti ini penting untuk menjaga kebersamaan dan kesederhanaan, meredakan ketegangan yang terjadi yang pasti membuat lelah karena hal yang seharusnya bisa diabaikan menjadi penting untuk diperdebatkan, atas nama ini dan itu. Mungkin penonton Stand Up Gunung 2017 yang hadir di Bumi Perkemahan Senolewah-Wonogondang kemarin tidak mewakili Indonesia, tapi setidaknya keyakinan bahwa Stand Up Comedy dengan materi yang menabrak paradigma dan stereotype masyarakat masih diterima dengan pikiran terbuka. Semoga semakin banyak di luar sana tidak hanya di Jogja, membuat acara serupa apapun mediumnya dan dimanapun tempatnya, agar semakin yakin bahwa Indonesia tidak hanya seperti apa yang ada di sosial media.

Terima kasih, Stand Up Gunung :)

Monday 12 June 2017

Orasi Menyisir Tanah

Datang ke sebuah pertunjukan musik yang intim dengan skala penonton cenderung lebih kecil adalah hal yang saya pilih untuk menikmati penampilan musisi idola saya. Sekitar tahun 2010, saya memiliki kesan yang sampai sekarang masih sukar dilupakan datang ke gelaran pertunjukan sederhana Melancholic Bitch dan Frau yang -pada saat itu- saya belum banyak mengenal karya mereka, tapi toh tanpa itu saya tetap bisa menikmati musik dan aksi mereka membawakan lagu meskipun saya adalah golongan penikmat musik yang ketika mendengarkan lagu harus bisa menyanyikan liriknya untuk bisa lebih "masuk" ke dalam lagu tersebut. Saya terpesona dengan penampilan Melancholic Bitch serta Frau dengan bahasa musik mereka menyajikan penampilan yang menurut saya luar biasa, dan sejak saat itu saya tidak pernah melewatkan jika Melancholic Bitch dan Frau menggelar sebuah pertunjukan. Ada kenikmatan untuk lebih masuk ke dalam karya musisi yang saya sukai ketika datang ke pertunjukan kecil atau private concert mereka, mungkin karena saya merasa lebih dekat secara jarak sehingga terasa personal.
Banyak musisi yang saya sukai karyanya tapi saya belum pernah menyaksikan penampilannya secara langsung yang menurut kesaksian beberapa teman aksi panggungnya luar biasa bagus, Barasuara misalnya, saya merasa di usia saya yang sekarang ini datang ke konser mereka lalu tenggelam di arus jejingkrakan adalah melelahkan. Ya meskipun cara menikmati musik seperti itu adalah bukan keputusan buruk, tapi menurut hemat pola pikir malas saya lebih baik kalau suatu hari nanti mereka menggelar acara yang lebih "sederhana" jangan pernah lengah untuk segera membeli tiketnya. 

Mei lalu saya melawat ke Solo demi menyaksikan gelaran acara peluncuran mini album The Mudub, unit kelompok asal Solo dengan aksi panggung kocak nan gokil yang digawangi Arum, Catur, Jeky, dan Jampes. Tidak pernah mengecewakan memang menghadiri sebuah pertunjukan yang intim seperti itu, selama kurang lebih 3 jam dihajar oleh aksi menawan lengkap dengan candaan antar personil band yang memang jadi satu trademarks The Mudub sebagai satuan kelompok bermusik. Tulisan lengkap mengenai The Mudub bisa anda baca di artikel ini.
Tadi malam, saya mengiyakan ajakan teman untuk datang menikmati gelaran dari Sisir Tanah di Teater Garasi yang kebetulan memang tidak begitu jauh dari tempat kos saya. Saya beberapa kali mendengarkan lagu Sisir Tanah dan jujur saja kurang begitu menikmati karena mungkin menurut saya nada seperti yang dimainkan Sisir Tanah ini sudah begitu overplayed di telinga saya lewat Payung Teduh  yang sekarang banyak diputar di coffee shop guna mendapat kesan edgy. Berbekal keyakinan bahwa semua gelaran private concert yang saya datangi tak pernah berakhir mengecewakan, saya duduk dan bersiap menikmati sajian penampilan Sisir Tanah.


Tanpa penampil pembuka, seseorang mengucapkan selamat datang dan berterima kasih sudah datang di acara ini sekaligus mempersilahkan Sisir Tanah untuk segera masuk ke panggung. Saya tidak begitu banyak mengerti apa istilahnya dalam seni musik, yang bisa saya tulis hanyalah musik minimalis dari Sisir Tanah dipadu dengan lirik tajam mengangkat isu sosial, suara Bagus Dwi Danto malam tadi berpadu apik dengan Jasmine begitu apik di lagu Obituari Air Mata. Mendengarkan Sisir Tanah seolah mendengar sebuah orasi tapi jauh dari teriakan dan nada tinggi, di Lagu Baik saya sudah bisa merasakan emosi di lirik tajam yang oleh Danto berkali-kali diulang untuk memberi kesan jangan pernah berhenti menyampaikan "semangat baik". 

Panjang umur keberanian, mati kau kecemasan dan ketakutan
Panjang umur keberanian, mati kau ketidakadilan dan penindasan
Panjang umur keberanian, mati kau kebenaran yang dipaksakan


Panjang umur, semangat baik

(Lagu Baik, Sisir Tanah "WOH")

Saya memang bukan seorang aktivis, tidak pernah berkecimpung di gerakan sosial maupun kemanusiaan tapi saya mengamini apa yang Sisir Tanah suarakan mengenai apa yang terjadi di negeri ini. Permasalahan Intoleransi, penindasan, teror, dan banyak yang lain adalah akrab kita lihat serta jumpai di lingkungan sekitar maupun di media.
Penampilan Bagus Dwi Danto sebagai Sisir Tanah meskipun minim interaksi namun pertunjukan tadi malam tidak sedikitpun kehilangan rasa khidmat dan khusyuk penonton dalam memasuki lagu demi lagu yang dibawakan dengan hiasan lampu temaram di ruang tengah Teater Garasi. Tidak banyak basa-basi yang keluar, karena mungkin bagi Sisir Tanah penonton hanya ingin menikmati lagu dan tidak penting untuk memberi pemahaman bahwa lagu ini menceritakan tentang blablabla, atau lagu ini saya buat karena keprihatinan saya atas blablabla jadi biarlah penonton menikmati penampilan dan pulang terpuaskan atas asumsi masing-masing.

"Apapun yang menjadi medium kita, saya yakin semua yang ada di sini adalah orang yang ingin 'bersuara' lewat macam-macam cara", adalah sebuah kutipan di tengah penampilan Sisir Tanah yang saya tidak bisa untuk tidak mengamini hal itu. Meskipun lalu menjadi refleksi bagi saya karena apa yang saya sampaikan -lewat komedi- masih jauh untuk bisa disebut "bersuara", sejauh ini saya hanya menertawakan hidup saya yang sedikit manfaat banyak wagunya ini. 
Karena semua seni pertunjukan menurut saya memiliki banyak kesamaan satu dengan lainnya, setelah menyaksikan pertunjukan yang bagus lalu melahirkan inspirasi untuk berbuat serupa saya kira adalah hal wajar. Ada rendah hati yang bisa menjadi teladan, ada sederhana dalam berkarya yang tak buruk jika menjadi acuan, ada semangat untuk menggelar karya berapapun penikmat yang menjadi lecutan.

Panjang umur inspirasi, semangat baik :)

Saturday 27 May 2017

Menjadi Muslim Biasa Di Bulan Istimewa

Ramadhan tahun ini saya akan banyak menyempatkan waktu untuk menulis dan menangkap gambar di sore menjelang berbuka untuk mengisi kekosongan yang tidak seperti tahun sebelumnya. Tahun kemarin saya habiskan ramadhan dengan bekerja di sebuah provider termahal se-Indonesia, dan kegiatan siaran di salah satu radio anak muda Yogyakarta. Jadi, daripada tidak ada yang harus saya kerjakan lebih baik saya mengaktifkan kembali fungsi blog ini untuk mengemukakan pendapat dan dokumentasi diri untuk saya baca di masa depan. :)
Oiya, selamat menjalankan ibadah puasa semoga sampai hari terakhir ramadhan ibadahnya tetap konsisten dan diterima segala apa yang menjadi baik.

Di akun Instagram, saya mengunggah foto dengan caption "Marhaban Ya Ramadhan, saya rasa tidak ada salahnya menjadi muslim yang biasa saja di bulan istimewa. Bekerja, berpuasa, dan belajar tanpa embel-embel 'Dilipat gandakan pahala' atau 'Mumpung ini momennya'."

follow IG yusrilfahriza

Saya rasa semua setuju dan memang tidak dapat dielakkan bahwa lingkungan di sekitar kita semuanya berubah ketika memasuki bulan ramadhan. Bulan istimewa yang di dalamnya dijanjikan apa pun ibadah yang kita kerjakan akan dilipat gandakan dan bahwa terdapat satu malam di bulan ramadhan yang lebih mulia dari 1000 bulan, bulan istimewa dimana yang ada di tayangan televisi menjadi banyak "kain yang menutupi", bulan istimewa dimana dini hari tidak lagi menjadi sepi, dan nuansa perkampungan yang lebih "islami" karena berkumandang bacaan kitab suci lewat pengeras suara yang semoga saja tidak disalahgunakan oleh adik-adik yang haus eksistensi dengan saling berebut mic. Bulan ramadhan memang istimewa, karena tidak hanya mengubah suasana lingkungan di sekitar kita tapi juga mengubah sifat orang yang sedang menjalankannya. Hal-hal seperti saya tuliskan ini membuat saya memiliki cita-cita untuk pergi ke luar negeri di bulan ramadhan, saya penasaran seperti apa ramadhan di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim, atau pun mayoritas penduduknya muslim tapi apakah se-"istimewa" ini dalam menyambut bulan ramadhan. Karena ini menarik, apakah menyambut bulan ramadhan se-"istimewa" seperti ini hanya ada di Indonesia?
Karena menurut saya, nikmat sekali puasa orang Indonesia ini dengan berbagai keuntungan yang dimiliki seperti tidak banyak warung buka di siang hari, suasana yang mendukung untuk tidak dikatakan "dasar sok alim!" ketika setiap 5 waktu sholat jamaah di masjid, jam kerja yang dipotong dengan alasan puasa, dan beberapa keuntungan lain yang kalau dibandingkan dengan muslim di nagara lain yang tidak se-"istimewa" ini dalam menyambut ramadhan akan menimbulkan iri hati ketika di akhirat nanti kalau ternyata hitungan pahalanya sama. 

Dan menurut saya, menjadi muslim biasa saja di bulan istimewa memang tidak ada salahnya. Beribadah seperti layaknya seorang muslim beribadah di bulan selain ramadhan, karena yang terjadi justru banyak yang terkesan bahwa beribadah hanya di bulan ramadhan saja di bulan lain bebas melakukan apa saja kan ibadahnya sudah dilipat gandakan. Golongan orang-orang yang menganggap bahwa pahala dan dosa hanya soal hitungan matematika, menurut saya tidak sedangkal itu seorang muslim harusnya beribadah. Jadilah seorang muslim biasa di bulan istimewa yang kalau beribadah ya beribadah saja, bukan karena "mumpung ini momennya"dan menganggap bahwa ibadah di bulan selain ramadhan tidak ada istimewanya.
Ini hanya murni pendapat saya, jangan 100% percaya dan dianut. Karena tentu kalau anda bertanya, "dalilnya mana?" saya pun agak sedikit grogi :)

Selamat menjadi muslim biasa saja, teman-teman 

Sunday 5 February 2017

Mimpi Indahlah, Kamu

Mimpi indahlah, kamu..
Dengan wajah bergaris senyum sebentuk bulan sabit yang pernah lelap di depan mataku
Mimpi indahlah, kamu..
Dengan semua cerita yang sudah menjadi benci
Mimpi indahlah, kamu..
Dengan semua pesan yang terlanjur kukirim tanpa sekalipun kau baca
Mimpi indahlah, kamu..
Dan teruslah lelap dalam pelukan kekasihmu yang baru

Aku sudah terlatih cukup baik untuk ini
Jadi tak perlu repot kau keluarkan kalimat "semua akan baik-baik saja", yang semua orang juga tahu bahwa itu retorika.