Monday 29 February 2016

Jangan Pernah Usik Park Ji Sung


Sepertinya moment riuh di timeline akun twitter saya sayang untuk tidak diabadikan dalam sebuah tulisan, saya berharap tulisan ini selain mendokumentasikan dan merekam momen juga menjadi sebuah refleksi bagi saya terutama dan semoga juga untuk anda.

Hal yang ingin saya fokuskan (dan mostly siapapun yang mengomentari momen ini) adalah fanatisme terhadap idola. Apakah idola adalah sesuatu yang harus kita bela? apakah harus sampai seperti itu sikap kita kepada idola sampai malas membuka mata? dan apakah fanatisme membuat kita buta?

Sebelum terlalu jauh, mari saya beri pengakuan bahwa saya juga adalah seorang penggemar industri K-pop. Iya, saya menyukai 2ne1, Bigbang, Leessang, CNblue, dan banyak musisi Korea yang saya dengarkan dari yang solo, boyband, girlband, sampai band yang terkenal maupun yang musiknya jarang dimainkan di event Korean Fest atau semacam itu. Perkenalan saya dengan K-pop berawal dari salah seorang teman saya yang karena dia tidak punya komputer atau laptop menitipkan file video SNSD di komputer saya saat itu, awal sekali saya menyaksikan video K-pop adalah MV SNSD berjudul Tell Me Your Wish dan rumor bahwa gadis korea itu cantik (terlepas dari apakah dia melakukan operasi plastik atau apa) benar adanya.
2011, tanpa sengaja saya menonton Ayu Tingting berkolaborasi dengan Cherrybelle di sebuah acara musik SCTV menyanyikan lagu "I am The Best" dari 2ne1 dan jatuh hatilah saya pada lagu serta girlband (2ne1) ini. Semua album dan singlenya saya dengarkan, makin gila saya dengan girlband ini, saya sudah di level bisa mengenali suara siapa yang menyanyi di setiap lagu 2ne1, dan memang lagunya oke sekali. Dan saya hanya berhenti di situ, di ranah musikal mereka, mengagumi dan memuji betapa industri musik di Korea ini sangat detail, termasuk menyajikan bagaimana sebuah musik tidak hanya enak didengar namun juga sedap dipandang melalu Video Clip yang memang memanjakan mata dengan artistik dan keanggunan gambar, makanya tidak heran beberapa pelaku di dalamnya melakukan operasi plastik agar lebih sedap "dinikmati" para penggemarnya. Saya rasa tidak cuma artis Korea yang melakukan hal ini, tapi bisnis hiburan di manapun akan menuntut hal yang sama.

K-pop Fans Logos
(pic via Google)
Beberapa penggemar, tidak cukup puas hanya dengan menikmati musiknya, ada yang mulai menyimpan foto, mengulik semua tayangan yang memuat tentang idolanya, dan bahkan menguntit semua aspek dalam kehidupan sang idola. Fase inilah yang kemudian akan memunculkan bibit-bibit "Aku cuma mau denger, baca, atau nonton yang aku mau", dalam teori Psikologi Komunikasi dituliskan bahwa ketika A mengenal B dan berinteraksi secara intensif maka secara tidak langsung A akan memiliki sebuah ekspektasi terhadap B, dan B akan bertindak sesuai dengan apa yang A ingin lihat terhadap B. (Mohon koreksi kalau saya salah, saya hampir lupa sumbernya dari mana)
Di pihak idola, dia akan sangat menjaga segala perilakunya agar tetap menjadi bagaimana sosok "idola" di mata penggemarnya, di mata penggemar idola hanya akan berperilaku seperti apa yang ia harapkan makanya muncullah pemikiran bahwa "Aku cuma mau denger, baca, atau nonton yang aku mau" dan buruknya pemikiran seperti itu akhirnya membutakan penggemar terhadap fakta yang ada (atau yang belum dan tidak mau ia baca). Dan dari sinilah, muncul fanatisme yang membutakan antara penggemar dengan idolanya.
Apakah hal ini wajar? Tentu tidak, dari sisi jika anda bukan penggemar
Apakah fenomena ini hanya berlaku dalam ranah K-pop? Juga tentu tidak, karena bagaimana Jepang juga ahli dalam "membentuk" industri yang sama
Sekarang tanyakanlah pada diri masing-masing, Apakah saya juga seorang yang fanatik? terhadap sesuatu yang digemari, ideologi, atau bahkan klub sepakbola atau klub2 cabang olahraga lain yang mungkin lebih representatif terhadap diri anda.

Fanatisme, munculnya perlahan dan tanpa kita sadari. Pun saya pernah merasakan hal yang sama ketika melihat klub kebanggan saya Manchester United kalah dalam sebuah pertandingan, atau melihat ada teman yang menjelekkan Manchester United di depan saya. Ingat, anti-Kpop juga bisa menjadi salah satu bentuk fanatisme. :D
Maka dari itu, anda akan berurusan dengan saya hanya ketika anda mengusik......... Park Ji-Sung

Park Ji Sung (pic via Google)
Jadi, sekaligus menjawab apa makna angka 13 di topi saya

(pic via my own Facebook account)
Semoga tulisan ini bisa menjadi sebuah alternatif pandangan, ingat bahwa fanatisme itu pelan dan tanpa kita sadari. Kadang enak, seringnya nyusahin orang lain hahaha

Live your destiny

Saturday 13 February 2016

Festival Melupakan Mantan, Mari Berdamai Dengan Kenyataan

Jogja memang tak berhenti membuat sebuah ledakan sensasi dengan ide kreatifnya, kali ini acara yang tepat diadakan di malam sebelum tanggal 14 Februari dimana banyak minimarket dan segala pernak-perniknya berubah menjadi pink dengan lambang hati adalah Festival Melupakan Mantan. Sebuah festival untuk berkumpulnya orang dimana ia bisa meluapkan segala kekesalannya terhadap seseorang yang pernah singgah sebentar.
Terlibat dalam acara ini sungguh adalah kesempatan yang berharga dimana ini adalah acara yang inovatif dan kreatif, membalut luka patah hati dengan sebuah festival adalah ide yang harus kita acungi jempol. Terus terang, saya sangat bangga menjadi bagian dalam festival ini karena bagi saya luka hati bukan sesuatu yang pantas kita ratapi tetapi bagaimana mengubah persepsi ini menjadi sesuatu yang pantas kita tertawai.

MC-ing Festival Melupakan Mantan with Gigih, Diwa, Simbah, & Tyas (pic via @JogjaDirectory)

Lalu apa isi acaranya?
HTM-nya adalah donasi barang peninggalan mantan, kita akan menulis testimoni dan kenangan terakhir kita kepada mantan dan di akhir acara akan dibakar sebagai bentuk menghanguskan kenangan.
Pada sesi terakhir acara, mas Sabrang Panuluh atau lebih dikenal dengan Noe "Letto" memberikan sebuah motivasi kepada semua penonton yang sudah hadir dan memenuhi Pendopo Taman Siswa malam itu. Satu hal yang saya ingat adalah, memang semakin kita melupakan semakin kita akan mengingat seseorang itu. Memang perkara melupakan adalah perkara yang tidak pernah semudah lisan menyelesaikan kalimat, "Wes toh sing wes yo wes.."
Perkara melupakan adalah perkara yang kompleks, tentu tidaklah mudah, saya sangat setuju dan mengakui hal itu. Tetapi yang disampaikan mas Noe di festival tadi adalah,

"Kita tidak perlu melupakan, berilah satu ruang dalam ingatan untuk kenangan. Masalah patah hati hanya satu lingkup kecil dalam skala besar kehidupanmu, tinggal kamu memutuskan mana yang lebih penting antara hidupmu atau patah hatimu?"

Saya cukup disadarkan oleh hal itu, patut menjadi sebuah renungan untuk saya dan mungkin untuk anda. Bahwa memang kadang kita memberi porsi yang terlalu besar untuk skala kecil dalam hidup kita yang besar.
Namun, sekali lagi ini hanya sebuah ucapan dari seorang manusia yang bisa saja salah bisa saja benar. Saya tahu sulitnya melupakan, saya tahu sulitnya mengalahkan rasa pengen "garuk-garuk luka". Makanya, kalau bisa melupakan ya dilupakan kalau tidak bisa jangan dipaksakan tapi ingat bahwa ada banyak perjalanan dalam hidup yang harus kamu selesaikan.

Live your destiny

Wednesday 3 February 2016

Menyiapkan Rakit ke Tepian Selanjutnya

Halo, saya harap ada yang membaca tulisan ini agar sapaan saya terdengar seperti ada kehangatan yang saya tuju. Sekian lama blog ini tak berpenghuni dan sepertinya kebiasaan lama saya terulang kembali yakni moody dalam hal menulis sesuatu. Hehehe akan segera diperbaiki

Baiklah, ada banyak sekali yang terjadi sejak terakhir saya menulis di blog ini. Ada banyak yang ingin saya ceritakan mengenai pengalaman yang ingin saya bagi dan ceritakan tapi pertama-tama sepertinya saya harus menuliskan bahwa sejak terakhir kali blog ini memposting sebuah tulisan dan setelah 8,5 tahun dengan waktu tempuh 17 semester akhirnya SAYA RESMI MENJADI SARJANA ILMU KOMUNIKASI, tapi saya sendiri akan merasa risih ketika gelar ini saya sematkan di setiap full name akun sosial media yang saya gunakan. Bukan tidak menghargai sebuah pencapaian tetapi lebih kepada 2 alasan, yang pertama jelas sekali bahwa ini norak yang kedua adalah saya akhirnya menuliskan gelar setelah teman seangkatan saya sudah memposting foto pernikahan dan menggendong anak bayinya yang lucu. Sekian

Menjadi sarjana adalah sebuah cerita panjang yang akhirnya saya selesaikan setelah pada suatu pagi saya membaca sebuah edaran dari kampus yang disampaikan melalui twitter dan akun FB resmi jurusan saya bahwa mahasiswa yang terancam D.O diharap segera menemui TU untuk menyelesaikan urusannya ditunggu sampai tanggal 3 Oktober (saat saya membaca postingan itu adalah tanggal 1 Oktober disaat teman di sosial media sibuk menuliskan 'Hello October, please be nice ya..'). Tidak banyak yang bisa saya lakukan setelah membaca itu kecuali merenung memikirkan apa jadinya kalau saya harus "dikeluarkan" oleh kampus, apa yang harus saya katakan kepada orang tua yang sangat menanti ijazah itu, jika ada hari dimana Raline Shah pun tak terlihat cantik sama sekali maka pasti itulah harinya.

Babak baru sudah dimulai, menurut Dewa 19 Hidup adalah perjuangan tanpa henti. Entah kenapa, 2016 sepertinya akan menjadi tahun yang bergairah karena pasti banyak yang akan saya jelajahi di tahun ini, belajar belajar dan belajar. Kata pepatah, "Berrakit ke hulu berenang ke tepian" tapi menurut saya yang terpenting bukan bagaimana cara kita untuk mencapai tepian itu tetapi kalau sudah sampai tepian apa yang akan kita lakukan. Dari situ saya menambahkan bahwa karena hidup adalah perjuangan tanpa henti, yang harus kita lakukan setelah sampai di tepian adalah menyiapkan rakit lagi untuk menuju ke tepian selanjutnya. Begitu dan akan terus berulang

Selamat berjuang untuk hidup yang never-ending tepian ini, sampai jumpa di daratan yang kita pun tak pernah rencanakan.

Love your destiny, live it!