Monday 11 February 2019

Masih Banyak Yang Belum

Tahun sudah berganti, sekian lama saya tidak duduk merangkai kisah mengabadikan peristiwa mencatat dan merekam untuk saya baca di masa mendatang.

2019 sudah berjalan di bulan ke dua, sebuah awal yang cukup berat setidaknya karena tahun lalu memulainya dengan hal menyenangkan, payah saya adalah mencoba membandingkan meski sepenuhnya sadar bahwa perbandingan tidak akan pernah membawa saya kemana-mana. Ya, bulan pertama berjalan melambat seketika di hari ke dua awal tahun kabar kondisi Abah semakin memburuk dan memaksanya harus kembali opname untuk tindakan lebih lanjut, sejak November memang kondisi Abah memaksa harus akrab dengan rutinitas periksa kesehatan ke rumah sakit. Diabetes memaksanya
Kondisi Abah memburuk di awal tahun, dokter mengusulkan untuk memutus jaringan virus yang menjalar di kaki kiri abah dengan amputasi, keluarga menyetujui dan Abah pun tidak punya pilihan solusi lebih baik. Sebelumnya di bulan November Abah sudah harus merelakan kaki kirinya tidak lagi memiliki utuh 5 jari, dan Januari Abah harus kehilangan kaki kirinya hingga di atas tumit. Selepas proses syuting film, saya pulang, menjenguk dan melihat kondisi Abah pasca operasi, saya hampir tidak kuat melihat Abah yang sudah tak berdaya dan tanpa motivasi untuk bertahan lebih lama. Abah sudah hampir tidak mampu berbuat apapun kecuali terbaring dan melihat jam dinding yang memang di kamarnya dipasang sejajar dengan arah pandang. Ibuk bercerita betapa Abah sedih melihat bentuk kakinya yang tak lagi utuh dan tanpa daya, kondisi Abah membuat Ibuk harus rela dalam sehari istirahat tidak lebih dari 2 jam karena kadang tengah malam Abah ingin minum dan buang air kecil. Yang paling saya khawatirkan saat itu memang kondisi ibuk yang harus merawat dan menjaga Abah, ditambah Ibuk memang sudah bermasalah dengan lututnya yang sudah tidak lagi mampu berdiri terlalu lama.

14 Januari, kondisi Abah yang semakin lemah mungkin karena nutrisi yang masuk ke dalam tubuh Abah hanya susu dan akhirnya harus mendapatkan perawatan intens di Rumah Sakit daerah Tuban (kondisi Abah yang tak mampu bertahan dalam perjalanan memang menjadi alasan kenapa akhirnya memilih untuk opname di Tuban). 19 Januari, Abah kembali diharuskan kehilangan separuh dari kaki kirinya dan tak lama saya mendapat kabar bahwa Abah sudah mulai lupa dengan orang di sekitarnya. Saya menangis, saya menangis ketika mendapat cerita Abah sudah tidak mengenal Ibuk.
20 Januari saya menemui Abah di ICU, saya mencoba kuat pertama kali melihat Abah dalam kondisinya, dan tangis saya pecah saat Abah bertanya "Sampean sopo?" (Kamu siapa?)

Saya menahan untuk menjawab, "saya anakmu Bah, Yusril, yang jarang di rumah untuk merawat, yang jarang mendengar nasehatmu, yang bahkan tidak pernah bertanya mau Abah apa, anakmu yang punya seribu pertanyaan untuk mengenal Abahnya sendiri."

Abah memandang saya begitu lama, sampai akhirnya di ICU hanya ada saya dan Abah. Sesekali saya menuntun Abah untuk mengucap kalimat takbir dan istighfar, dengan berat nafas Abah berucap "YA ALLAH, YUS..."
Dan itu menjadi kalimat terakhir Abah yang disampaikan ke saya.
Pukul 14.36 wib tanggal 22 Januari, Abah berpulang. Saya mendaratkan pelukan ke Ibuk, sosok luar biasa yang Tuhan jamin surga untuknya. "Sampun Buk, Ikhlas nggih.. ibuk saget istirahat sing cukup sakniki.", itulah kali pertama saya di umur hampir 30 ini memeluk Ibuk dan menenangkan tangisnya.

Sedikit sekali kenangan dan dokumentasi saya dengan Abah, hampir tidak saya temukan foto kami berdua bahkan ketika saya masih kecil. Saya memang sudah jarang di rumah sejak Abah memutuskan untuk menitipkan saya di Pondok Pesantren, komunikasi kami tidak pernah rutin terjalin sebelum Abah membentak saya untuk segera menyelesaikan kuliah. Banyak cerita tentang bagaimana saya di masa remaja yang Abah tidak tahu, banyak pertanyaan tentang bagaimana menjadi orang tua yang ingin saya tanyakan, banyak mau saya yang Abah tidak tahu dan mau Abah yang saya juga tidak sempat mendengar. 

"Masih banyak yang belum sempat aku katakan padamu, masih banyak yang belum sempat aku sampaikan padamu..."

Jika nama adalah doa, dalam bahasa arab nama asli Abah (Masrur) memiliki arti bergembira. Semoga pun di sana, Abah terlihat lebih gembira dari singkat waktu saya melihat Abah di sini.

Al Fatihah

1 comment:

  1. Mas Yusril. Penghibur hebat. Seng kuat yo mas.Snajan aku pertama kali nonton sampean waktu tour Susah Sinyal di Semarang, tapi aku koyo wes cedak karo sampean, mergo kui mau youtube, blog, twitter, instagram. Sampean wong hebat mas ...

    ReplyDelete