Monday 9 April 2018

A Monster

Saat menulis tulisan ini, sepulang dari kegiatan suting program sitkom di sebuah televisi masa kini, N*T. Saya bersyukur atas ini dan memutuskan dalam beberapa waktu berpindah dari kota pelajar ke ibukota yang kata pengais di dalamnya kejam, sebuah keputusan yang mau tak mau sih memang karena tidak mudah untuk beradaptasi terlebih di Jogja saya menjalani hampir 17 tahun dan pindah ke kota yang sampai hari saya menulis ini pun masih mencoba untuk beradaptasi dengan budaya, perilaku di jalan, dan hiburan kaum menengah akhir pekan.

Rutinitas setiap hari hanya bangun tidur, bersiap untuk ke lokasi, suting, pulang ke kos, kalau hari masih sore biasanya memutuskan pergi entah ke mana untuk mengusir lelah baik fisik maupun mental. Karena percayalah, nongkrong adalah kegiatan terbaik di Jakarta untuk mengusir itu semua, banyak menghabiskan uang memang tapi itu bernilai baik untuk bagaimana kamu bertahan. Kebiasaan nongkrong dan menertawakan aktifitas orang di Jakarta yang jauh dari ngeteh pinggir jalan adalah seperti menyeimbangkan tuntutan untuk terus hidup dan tetap menjadi manusia.

Namun beberapa minggu terakhir, rutinitas semakin menyeret menjauh dari semua itu dan menyita banyak waktu yang berakibat pada ada yang lelah dalam diri saya, bukan hanya fisik namun juga mental, pernah dalam perjalanan pulang selepas rutinitas suting saya terus berpikir apa yang salah dan kenapa bisa seperti ini. Saya menjadi gampang murung, gampang merasa lelah, gampang untuk terpicu marah meskipun stereotype sebagai orang jawa membatasi saya untuk bisa meluapkan apa yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Rasanya di beberapa minggu terakhir, Tuhan memberi saya kesempatan untuk memaksimalkan kekuatan sabar dan keterbatasan sebagai penghibur untuk semaksimal mungkin tetap terlihat baik-baik saja. Saya sadar, ada yang lelah dan harus direfresh, ada yang ingin bersandar dulu sebelum siap untuk berjalan lagi, ada Yusril lain yang masih perlu beradaptasi. Banyak nasehat dan petuah bijak dari beberapa teman dekat untuk tetap bersabar dan bersyukur, bersyukur masih diberi pekerjaan, bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bersabar, kuhargai semua nasehat itu, namun sepertinya memang saya hanya manusia biasa saja yang tentu saja memiliki emosi dan kelemahan.


Saya sadar perlahan ada yang mulai tumbuh seiring kesibukan dan proses adaptasi saya dengan semua ini, sesuatu seperti symbiote dalam tubuh yang menjalar dan menggerogoti kesabaran, namanya EGO. Ego saya ini perlahan membesar dan membesar, siapapun kamu yang membaca tulisan ini tolong ingatkan saya kalau sudah terlalu banyak yang berubah dalam diri saya. Ingatkan saya dengan caramu, ingatkan saya dengan bagaimana kita saling mengenal, karena monster ini ada di setiap kita dan sama sekali tanpa disadari akan semakin menguasai.
Ingatkan saya tentang pentingnya ngeteh sore dan makan gorengan di angkringan, nikmatnya duduk santai di pinggir lapangan melihat pertandingan sepakbola kampung dengan latar ibu mengajak anak kecilnya jalan-jalan, ingatkan saya bagaimana nikmatnya nasi goreng seharga 3500 dengan uang hasil patungan. Segala sesuatu memang ada harganya, mungkin ini adalah harga yang harus saya bayar dengan pekerjaan sebagai penghibur, peperangan batin yang kalau tidak ada yang mengingatkan saya bisa lupa diri. Tentu tanpa bermaksud untuk merendahkan profesi lain karena saya pun paham apapun profesi yang digeluti memiliki "pertarungan" dan "harga" yang masing-masing harus membayar tuntas, entah lunas atau menjadi kandas.

Terlalu banyak hal yang saya pikirkan, saya penakut memang, memikirkan segala kemungkinan buruk dalam setiap hal. Saya bukan penyabar, saya hanya tidak ingin dilihat sebagai pemarah karena mungkin pekerjaan saya menuntut untuk itu dan asumsi sebagai penghibur untuk "membuat semua orang bahagia" sungguh seperti pisau bermata dua.

"Who cares if one more light goes out, in the sky of a million stars?"

No comments:

Post a Comment